Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, lanjut dia, M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
"Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan," kata Sigit.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi juga berada di bawah perintah M Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.
"Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal," katanya.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Jaksa pun menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.
Usai dakwaan dibacakan, tiga terdakwa melalui penasihat hukum masing-masing menyatakan untuk mengajukan eksepsi.
Hakim mendengar hal tersebut kemudian menutup sidang dengan menyatakan sidang ditunda hingga Senin (6/2/2023), dengan agenda pembacaan eksepsi dari masing-masing terdakwa.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait