Setelah puas berkeliling, Anton kemudian mengajak rombongan yang dibawanya kembali ke pusat desa. Perjalanan pulang menjadi lebih ekstrim karena hujan lebat.
“Khawatir ada pohon tumbang atau dahan yang patah dan bisa menimpa kita,” ucapnya.
Begitu tiba di titik awal keberangkatan, pertanyaan-pertanyaan soal larangan berbicara aneh di dalam hutan langsung diutarakan. Anton kemudian menyerahkan kepada rekannya, Badri, soal pantangan ketika masuk hutan di desa itu.
“Intinya kita dilarang berbicara yang macama-macam, misalnya merasa lebih jago, lebih hebat atau berbicara kasar lainnya. Karena setiap hutan ada penghuninya,” kata Pak Map, sapaan akrab Badri David.
Pak Map menyebutkan, penghuni hutan yang dimaksud penghuni gaib. Jika marah karena ucapan seseorang, penghuni gaib hutan tersebut bisa bikin tersesat dan tak tahu jalan pulang.
“Setiap hutan ada aturannya yang harus ditaati. Jangan berbicara kasar, jangan merusak hutan, jangan mengambil sesuatu secara berlebihan,” kata Pak Map.
Dia menceritakan, pernah ada warga yang tersesat karena mencoba menebang pohon di hutan tersebut. Beruntung warga tersebut membawa mesin pemotong pohon.
“Arah suara mesin itu jadi petunjuk warga lainnya untuk mengeluarkannya dari hutan,” kata Pak Map yang berprofesi sebagai pekebun kelapa sawit.
Kisah lainnya, suatu ketika desa ini kedatangan petugas kehutanan untuk membantu warga memetakan hutan desa. Pemetaan dilakukan dengan membuka akses di pinggir hutan.
Saat membuka akses itu, tentu dibutuhkan parang untuk menebas semak belukar. Saat asyik menebas, tiba-tiba parang terlepas dari gagangnya.
“Kita berusaha mencari parang itu namun tak kunjung ketemu,” kata Badri.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait