Tradisi Upacara Pasola di Kabupaten Sumba Barat: Sejarah dan Pelaksanaan

JAKARTA, iNews.id - Tradisi upacara Pasola adalah tradisi tahunan masyarakat Sumba yang menganut agama Marapu atau memuja Dewa sebagai jelmaan roh leluhur. Disebut Pasola karena tradisi ini digelar dengan menggunakan sola atau kayu lembing.
Hingga saat ini, tradisi tersebut masih terus digelar dan kerap mendatangkan perhatian dari banyak wisatawan. Sejumlah stasiun televisi juga telah menyiarkannya.
Adapun ulasan mengenai tradisi Pasola yang patut kamu ketahui adalah sebagai berikut.
Dilansir dari situs Pemkab Sumba Barat, Senin (20/2/2023), tradisi Pasola berhubungan dengan legenda cinta segi tiga di masa lampau. Konon, hiduplah tiga bersaudara di kampung Weiwuang, yakni Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla yang memutuskan berlayar ke Negeri Muhu Karera untuk mencari ikan demi istri-istri mereka.
Namun setelah beberapa hari berlalu, ketiganya tidak kunjung kembali ke Weiwuang dan membuat para istri serta warga setempat merasa cemas. Istri Ubu Dulla, Rabu Kabba bahkan kerap pergi ke tepi pantai sambil berharap sang suami kembali.
Lalu pada suatu hari, Rabu Kabba mendapati sebuah perahu yang akan menepi ke tepi pantai. Akan tetapi, perahu tersebut bukan milik Ubu Dulla, melainkan seorang pemuda asal Kodi bernama Teda Gaiparona.
Karena sering bersama, Rabu Kabba akhirnya merasa jatuh cinta pada Teda Gaiparona. Namun cinta mereka terhalang oleh adat setempat, sehingga membuat keduanya memutuskan untuk kawin lari.
Tak berselang lama, Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla kembali ke Weiwuang. Dari sanalah, Ubu Dulla mendapati sang istri kabur bersama pria lain.
Merasa tak terima, Ubu Dulla pun berusaha menemukan istrinya dan Teda Gaiparona dengan dukungan dari warga Weiwuang. Saat sudah ditemukan, Rabu Kabba menolak untuk kembali ke pelukan sang suami terdahulu.
Alih-alih marah, Ubu Dulla justru merelakan sang istri bersama pria lain. Meskipun demikian, ia mengajukan syarat kepada Teda Gaiparona agar diberikan mas kawin pengganti seperti saat ia memberikan Rabu Kabba di hari pernikahan.
Syarat itu pun disetujui oleh Teda Gaiparona. Ubu Dulla juga diberikan sebungkus cacing laut warna-warni yang menjadi simbol kemakmuran untuk dibawa pulang ke Weiwuang.
Tak berhenti di situ, keduanya juga setuju akan selalu menyelenggarakan Pasola untuk mengenang besarnya hati Ubu Dulla yang mampu merelakan sang istri hidup bersama pria lain. Karena apabila Ubu Dulla tidak rela, maka pertempuran dan pertumpahan darah bisa saja terjadi.
Dalam pelaksanaannya, Pasola akan mempertemukan dua kelompok berkuda yang saling melempar kayu lembing ke arah lawan dengan dipimpin oleh seorang Rato atau tokoh adat. Setiap kelompok diwajibkan mahir menunggang kuda serta menangkis terjangan tongkat yang menyerangnya.
Konon, jika terdapat korban jiwa selama Pasola digelar, maka orang tersebut adalah orang yang dihukum oleh Dewa karena melanggar norma adat setempat. Meskipun demikian, darah yang tumpah bukanlah darah yang sia-sia, melainkan darah yang akan mendorong kesuburan tanah.
Seperti yang telah dijelaskan, Pasola adalah acara tahunan yang berarti hanya digelar satu kali dalam setahun. Tradisi ini biasanya akan diselenggarakan pada permulaan musim tanam, yakni pada bulan Februari hingga Maret.
Adapun pemilihan hari pelaksanaan akan dilakukan oleh Rato secara hati-hati. Maka jika terjadi kesalahan, panen warga setempat dipercaya akan gagal.
Sementara itu, tidak semua kampung di Kabupaten Sumba Barat melangsungkan tradisi Pasola. Menurut situs Direktori Pariwisata Indonesia, tradisi ini hanya digelar di 4 kampung, yakni Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.
Editor: Komaruddin Bagja