MATARAM, iNews.id - Pesantren menghadapi tantangan baru di tengah arus digitalisasi dan perubahan sosial yang cepat, yakni bagaimana menyiapkan lulusannya, khususnya santriwati, agar tidak hanya cakap dalam ilmu agama, tetapi juga mandiri secara ekonomi. Tantangan ini menjadi sangat nyata di Madrasah Aliyah Putri Hikmatusysyarief, Dusun Salut, Desa Selat, Kecamatan Narmada, Lombok Barat.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan pihak madrasah, sekira 65 persen santriwati menikah dalam waktu enam bulan setelah lulus, sebagian besar tanpa bekal keterampilan atau kesiapan finansial yang memadai. Latar belakang keluarga yang sebagian besar berasal dari keluarga petani dan buruh harian dengan penghasilan rata-rata di bawah Rp1,5 juta per bulan juga menambah pelik masalah ini.
Budaya lokal dan tekanan sosial sering kali memandang bahwa perempuan sudah “cukup” setelah menamatkan pendidikan di tingkat aliyah. Akibatnya, potensi intelektual dan keterampilan yang telah dibangun selama masa pendidikan tidak tersalurkan secara optimal.
Kondisi tersebut juga berimbas pada rendahnya partisipasi santriwati dalam kegiatan ekonomi produktif, hanya sekitar 7 persen alumni yang memiliki usaha atau bekerja mandiri, sementara sisanya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan.
Sementara itu, fasilitas laboratorium komputer di pondok yang terbatas hanya enam unit aktif dan koneksi internet yang tidak stabil, pengetahuan tentang inovasi ekonomi kreatif serta akses terhadap teknologi menjadi hambatan serius. Di sisi lain, latar belakang pendidikan orang tua yang umumnya hanya sampai tingkat dasar membuat dukungan terhadap pendidikan lanjutan pun minim.
Keterbatasan ini mendorong perlunya intervensi pendidikan berbasis teknologi dan literasi keuangan, agar para santriwati dapat diberdayakan menjadi pelaku ekonomi produktif, meski dari rumah. Dari situlah lahir inisiatif Model Pembelajaran Santripreneur Berbasis Teknologi dan Literasi Keuangan yang menjadi sebuah upaya konkret untuk mengintegrasikan nilai-nilai pesantren dengan semangat kewirausahaan modern.
Program Santripreneur yang dikembangkan tim pengabdian Universitas Mataram ini bertujuan menyiapkan santriwati agar mampu mengelola usaha mandiri berbasis potensi lokal dengan dukungan keterampilan digital dan pemahaman manajemen keuangan. Melalui pelatihan, pendampingan, dan praktik langsung, para peserta diajarkan cara membuat produk, mengatur keuangan, hingga memasarkan hasil karya mereka secara daring.
Program inisiasi dari hulu ke hilir, menjadi stimulan para santri pasca-lulus dari pesantren. Pada pelatihan yang sudah berlangsung, santriwati dilatih mengenai kewirausahaan kontekstual, yakni mengajarkan cara mengidentifikasi potensi lokal seperti kuliner yang bisa dikembangkan menjadi usaha rumahan.
Editor : Rizqa Leony Putri
Artikel Terkait