Bunyi letusannya terdengar hingga jarak 2.600 km. Sementara itu, hujan abunya mampu menjangkau wilayah lain yang berjarak 1.300 km dari puncak Tambora. Letusan Gunung Tambora juga menyebabkan iklim Bumi berubah. Bagian utara Bumi mengalami penurunan suhu hingga 0,7 derajat Celsius. Area dengan radius 600 km dari Gunung Tambora berada dalam keadaan gelap selama 3 hari.
Letusan Gunung Tambora juga menyebabkan peristiwa a year without summer di kawasan Amerika Utara dan Eropa. Musim panas di tahun 1816 itu tidak seperti musim panas biasanya.
Di New England, salju turun. Suasana suram dan hujan dingin turun dialami di seluruh Eropa. Dingin, gelap, terjadi badai. Kondisi ini sama sekali tidak seperti cuaca musim panas yang khas. Akibatnya, 1816 dikenal di Eropa dan Amerika Utara sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas."
Letusan Gunung Tambora Vs Krakatau
Menurut Gubernur Hindia Timur yang kala itu menjabat, Thomas Stamford Raffles, suara letusan yang berasal dari Gunung Tambora diikuti dengan suara gemuruh dan terdengar hingga ke daerah-daerah lain. Sebut saja Sulawesi, Maluku, hingga Jakarta (dahulu bernama Batavia). Suara letusan dan abu vulkanik tersebut baru usai pada tanggal 12 April 1815. Dari peristiwa itu maka warga mulai meningkatkan kesadaran bencana.
Banyak pihak yang kemudian membandingkan letusan Gunung Tambora dengan meletusnya Gunung Krakatau yang terjadi 68 tahun setelahnya, atau tepatnya di tahun 1883. Smithsonian National Museum of Natural History menyebut, kekuatan letusan Gunung Tambora adalah 4 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau. Energi yang dihasilkan dari letusan Gunung Tambora setara dengan kekuatan 171.500 unit bom atom.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait