BANDUNG, iNews.id - Pangeran Raja Atas Angin atau Eyang Dalem Cijenuk nama tersebut lebih akrab dikenal Syekh Maulana Muhammad Syafei. Saat menyebarkan Islam, dia sering diancam dibunuh oleh Belanda.
Bangsawan pelopor penyebaran Islam di wilayah Bandung Barat itu berjuang tanpa kenal lelah. Syekh Maulana Muhammad Syafei sendiri diketahui berasal dari Banten.
Informasi tersebut mengacu pada nama depan yang melekat, yaitu Maulana sebagai nama gelar yang identik dengan sultan-sultan Banten sebelum tahun 1638 M. Setelah tahun tersebut, gelar Maulana tidak dipergunakan lagi.
Di antara sultan Banten yang memakai gelar tersebut, yaitu Sultan Maulana Hasanudin (1552-1570), Sultan Maulana Muhammad atau Maulana Muhammad Nasrudin (1580-1596). Mengacu pada informasi itu, Syekh Maulana Muhammad Syaefi disebutkan sebagai saudara kandung atau adik Maulana Syekh Mansyur Cikaduen.
Keduanya merupakan putra Sultan Abdul Fatah atau Sultan Agung Tirtayasa yang lahir pada tahun 1631 M dan wafat pada tahun 1683 M yang menjadi penguasa Banten menggantikan kedudukan ayahnya, Syekh Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M).
Syekh Maulana Muhammad Syafei menjadi putra mahkota yang kelak berhak menempati singgasana kesultanan Banten. Namun, karena mendapat petunjuk dari leluhurnya agar keluar dari lingkungan keraton untuk menyebarkan ajaran Islam, Syekh Maulana Muhammad Syafei akhirnya memutuskan pergi dari keraton.
Beliau pergi dari keraton menuju arah selatan melewati daerah pedalaman Pandeglang, Labah, Bogor, Cianjur, Surade, Sukabumi, hingga Cisewu Garut. Singkat cerita, tibalah Syekh Maulana Muhammad Syafei pada sebuah tempat yang dipandang cocok untuk dijadikan pusat penyebaran Islam sekaligus tempat persembunyian dari penjajah Belanda, yakni Cijenuk.
Lokasi ini berada di wilayah selatan dari Kota Bandung. Lokasinya yang berbukit dan jauh dari pusat pemerintahan kolonial seperti Bandung, Cianjur, Sumedang, dan Bogor dipandang sangat tepat, terutama untuk menghindari ancaman kolonial Belanda yang hendak membunuh para bangsawan Banten dan seluruh keturunannya sekitar abad ke-18.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait