Kisah Inspiratif, Nelayan Lobster di Lotim Untung Besar dari Restoran Apung
Restoran Apung Ekas Buana dibangun oleh Rumaji. Ekas Buana merupakan surga snorkeling dan surfing bagi para turis asing.
Sebagian besar backpacker dari Prancis, Spanyol, Jerman dan lainnya. Tak heran Ekas Buana mahsyur di Eropa.
Peluang itulah yang ditangkap Rumaji. Semula bisnis itu menggiurkan. Namun apa daya pandemi Covid-19 datang. Wabah itu menjadi malapetaka baginya.
Begitu pandemi datang, penerbangan internasional tutup. Itu artinya, tak ada turis berkunjung. Sektor pariwisata memang terpukul telak. Tak sedikit yang kelimpungan.
“Praktis homestay saya nganggur, tidak ada turis menginap. Di sisi lain saya punya karyawan yang harus dibayar,” tutur Rumaji.
Pria 36 tahun ini mengakui, budidaya lobster memang masih terus berjalan alias tak terdampak. Tetapi keuntungan dari usaha itu tak bisa cepat. Jika ingin hasil besar, lobster mesti dipelihara hingga ukuran bernilai mahal.
Padahal, dia butuh dana operasional untuk membayar karyawan yang mengurusi homestay miliknya. Rumaji sejak awal bertekad tidak ingin melakukan PHK.
Dari situlah tercetus untuk mendirikan restoran apung. Keinginan itu muncul setelah rombongan besar turis dari Prancis ingin merasakan sensasi tidur di rumah apung di tengah laut.
“Akhirnya saya putuskan untuk membangun rumah, kemudian restoran apung,” tutur bapak dari empat anak ini.
Terpaan pandemi Covid-19 membuat Rumaji cepat-cepat merealisasikan mimpinya. Berpondasikan drum Styrofoam, resto apung itu berdiri dengan lanskap cantik laut Teluk Ekas dan pesisir berlatar bukit.
Dia sangat bersyukur karena rencana mewujudkan bisnis kuliner itu berjalan mulus. Terlebih ketika itu permodalan dari perbankan sangat membantu.
“Saya ambil KUR (kredit usaha rakyat) dari Bank BRI Rp50 juta pada Januari 2020. Dana KUR itulah yang saya pakai untuk membangun restoran apung ini,” kata Rumaji.
Rumaji yang merupakan nasabah Bank BRI sejak 10 tahun silam merasa keberadaan KUR itu sangat bermanfaat. Sekalipun budidaya lobster membawa untung, namun hantaman pandemi membuat dia harus berpikir luas.
Editor: Nani Suherni